Selamat datang dan Selamat berbelanja di DeJaya Online Shop

KARAKTER DAN REPUTASI

Ditulis oleh: Andrias Harefa

Hubungan antara karakter dan reputasi dijelaskan oleh seorang bernama John Wooden dengan sangat tepat. Ia mengatakan, “Be more concerned with your character than your reputation, because your character is what you really are, while your reputation is merely what others think you are”. Dengan kata lain, karakter menyangkut innate image sementara reputasi menyangkut social image. Mengutamakan innate image ini berarti being true to yourself, jujur terhadap diri sendiri alias menjadi otentik, yang merupakan jalan satu-satunya untuk dapat membangun integritas sejati (baca: menjadi manusia yang utuh).

Di era lahirnya––apa yang dengan tepat disebut oleh Yasraf Amir Piliang sebagai––sebuah dunia yang dilipat (baca: internet), tehnik-tehnik pencitraan telah menjadi komoditi yang dikonsumsi dengan lahap oleh siapa saja yang ingin dicitrakan secara positif untuk memperoleh atau melindungi kepentingan tertentu. Artinya ada upaya untuk mendahulukan reputasi melalui proses rekayasa yang canggih dan sistematik, agar citra sosial yang ditampilkan lewat serangkaian aktivitas public relations dapat membentuk opini publik tentang “seseorang” atau “sesuatu”. Soal apakah reputasi ciptaan itu sesuai atau tidak dengan realitas dan kebenaran, menjadi urusan nomor dua.

Dampak yang paling mengerikan dari upaya mendahulukan reputasi daripada karakter adalah makin suburnya kemunafikan dan kepalsuan. Hal ini paralel dengan apa yang digagas Stephen R. Covey (1989) ketika membicarakan dan membedakan antara Personality Ethic dan Character Ethic. Sebab menurut studi doktoral yang dilakukan Covey, literatur tentang cara-cara meraih keberhasilan atau sukses––khususnya di Amerika, tetapi mungkin juga benar secara universal––mengalami pergeseran dari penekanan kepada usaha membangun karakter seperti yang dicontohkan oleh Benyamin Franklin, ke penekanan kepada usaha pengembangan kepribadian.

Di Amerika, selama kurun waktu 150 tahun pertama sejak kemerdekaannya (1776–1926), fondasi keberhasilan diyakini bertumpu pada Character Ethic, yakni upaya mengintegrasikan prinsip-prinsip agar menjadi bagian dalam diri. Integritas, kerendahan hati, kesetiaan, pembatasan diri, keadilan, kesabaran, kesederhanaan, keberanian, kerajinan, kesantunan, dan the Golden Rule (berbuatlah kepada orang lain seperti yang kamu kehendaki orang lain perbuat kepadamu), merupakan hal yang diyakini sebagai fondasi kokoh bagi keberhasilan sejati. Lalu, pada 50 tahun berikutnya (1926–1976), terjadi pergeseran ke arah Personality Ethic. Keberhasilan lalu lebih dipahami sebagai fungsi kepribadian, citra public, sikap dan perilaku, berbagai keterampilan dan tehnik-tehnik yang memperlancar interaksi hubungan antar manusia. Dua pola yang mendukung Personality Ethic ini adalah (1) teknik-tehnik human and public relations; dan (2) ajaran mengenai positive mental attitude (PMA).

Ajaran Covey mungkin membuat marah para ‘pengikut’ (antara lain) David J. Schwartz, Napoleon Hill, dan Norman Vincent Peale. Namun dengan kepala dingin kita dapat menilai bahwa dalam hal ini Covey benar. Rekayasa citra sangat berpotensi untuk menjadi prostitusi citra, dan rekayasa sikap positif yang tidak didasarkan pada paradigma yang lebih baik hanya dapat memberikan perubahan sementara yang tidak mendasar dan karenanya “kurang bernilai”.

Hal ini tidak berarti bahwa social image itu tidak perlu direkayasa, tetapi hal itu hendaknya tidak dilakukan untuk memanipulasi, mengaburkan, dan menyimpang dari innate image seseorang. “Tampilan” diri seseorang atau sesuatu itu harus selaras dan benar-benar mencerminkan the true self (diri sejati) yang ada “didalam” (innate). Bila tidak, maka yang terjadi adalah pemalsuan atau twisting of meaning (pemelintiran makna). Hal ini hanya akan melahirkan orang-orang munafik yang kata-kata dan perbuatannya saling bertabrakan sehingga ia tidak dimungkinkan menjadi pribadi yang berintegritas (utuh).

Character Ethic berkaitan dengan upaya membangun karakter (innate image), sementara Personality Ethic adalah soal membangun reputasi (social image). Yang pertama harus menjadi landasan bagi yang kedua, dan bukan sebaliknya. Yang pertama berkaitan dengan prinsip-prinsip hidup, sementara yang kedua menyangkut soal gaya hidup. Dan hanya bila keduanya selaras, maka keberhasilan seseorang dapat menjadi lestari (sustainable) karena bersifat sejati. Bila tidak, maka keberhasilan itu ibarat bangunan yang tak berfondasi atau dibangun di atas pasir. Banjir dan angin topan (baca: krisis) akan meluluhlantakkan semua itu dalam sekejap waktu. Dan reputasi palsu atau citra sosial yang dibangun berpuluh tahun akan lenyap seketika seiring dengan tampilnya ‘karakter tercela’ yang selama ini disembunyikan.[aha]

* Andrias Harefa adalah seorang trainer, pembicara publik, dan penulis 30 buku laris. Ia dapat dihubungi di: aharefa@cbn.net.id.


***

~ edit by DeJaya Collection ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk keterangan selengkapnya silahkan kirim email ke dewi.pujia@yahoo.co.id atau sms ke no. 021-995 75 669.

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
DeJaya Collection |Produksi : Bandung | Lokasi Stok: Cikarang-Bekasi | Phone: 021 - 995 75 669 | Email: dejayacollection@yahoo.com |