Selamat datang dan Selamat berbelanja di DeJaya Online Shop

IMAJINASI AWAL

Penulis: Andrias Harefa

”Setiap ciptaan memiliki tujuannya masing-masing.
Dan manusia yang menemukan tujuan hidupnya,
menjalani hidup dengan daya tahan yang mengagumkan.”
~ Pandir Karya

”Jika imajinasi begitu penting dalam proses penciptaan kekayaan, maka apa sajakah yang perlu dipikirkan dalam rangka mengembangkan imajinasi itu?” tanya saya kepada sejumlah kawan.

”Kita harus sering memikirkan masa depan yang lebih baik,” kata Iin.
”Semua hal yang kita inginkan dalam hidup,” jawab Toni.
”Saya setuju dengan Iin dan Toni,” timpal Herlina.
”Ya, seperti membayangkan bisnis saya berkembang,” ujar Didi.
”Atau membayangkan gaya hidup kita sepuluh tahun lagi,” jelas Diah.
”Impian-impian kita yang paling besar,” sela Rudy.
”Bagaimana melunasi hutang-hutangku,” gagas Yuyun.
”Bagaimana supaya punya rumah yang ada kolang renangnya,” ujar Lilik.
”Akh, yang penting dipikirkan itu tujuan hidup kita. Kita mau apa dengan hidup yang cuma sekali ini,” papar Dewi.
”Saya rasa kita perlu memikirkan cara-cara untuk mengatasi ketakutan dan kecemasan kita. Itu yang paling penting, bukan?,” respons Indra.

***

Sesekali memang perlu memikirkan hal-hal yang paling mendasar dalam hidup seperti: Apa tujuan hidup kita? Apa saja yang ingin kita selesaikan, kita capai, kita miliki, kita lakukan, dan kita nikmati dalam hidup? Apa-apa saja yang membuat kita merasa hidup menjadi berarti, penuh makna? Atau apa-apa saja yang bisa membuat kita khawatir ketika diminta memikirkan masa depan?

Tujuan-tujuan itu bisa saja berorientasi jauh ke depan, bahkan sampai kepada pertanyaan serius seperti ”Kita ingin dikenang sebagai manusia macam apa jika sudah meninggal nanti?”, atau ”Apa yang ingin kita wariskan pada dunia, pada anak cucu dan generasi pengganti?”, dan sebagainya. Namun, tidak harus selalu begitu, karena memang tidak semua orang mudah mengembangkan imajinasinya sampai sejauh itu. Hal yang demikian memerlukan kecerdasan intrapersonal yang tinggi karena menyangkut soal panggilan dan tujuan hidup jangka panjang. Bagaimana kalau kita mulai dengan memikirkan tujuan-tujuan jangka menengah, katakanlah dalam rentang waktu 3-5 atau 3-10 tahun? Atau mungkin akan jauh lebih mudah jika kita mulai dengan mengenali tujuan-tujuan jangka pendek, yang kurang dari 3 tahun.

”Kamu masih muda, Bung. Kalau kamu ingin berhasil dalam hidup, buatlah daftar 25 hal yang paling kamu inginkan. Lalu, susunlah rencana untuk mencapainya satu per satu,” demikian nasihat seorang tokoh—yang diperankan oleh Robert De Niro—kepada anak muda usia 25 tahunan dalam sebuah film yang saya lupa judulnya. Sebuah nasihat sederhana, tetapi menyimpan kearifan yang luar biasa. Sebab nasihat itu mengingatkan orang muda tentang pentingnya perencanaan, dan perencanaan berarti mengambil kendali atas hidup. Dengan rencana kita sesunguhnya berusaha mengendalikan, mengontrol, dan mengintervensi masa depan kita. Dengan rencana kita menerima tanggung jawab untuk mengambil prakarsa bertindak guna memilih masa depan sesuai keinginan sendiri. Kehidupan yang lebih baik, kekayaan yang besar, kemapanan finansial, tidak tercurah begitu saja dari langit. Peta perjalanan perlu dibuat sebagai imajinasi awal menuju kualitas hidup yang kita inginkan.

Jika kita coba mengikuti nasihat di atas, maka apakah 25 hal yang bisa kita jadikan tujuan keuangan supaya kita sampai pada suatu keadaan yang kita sebut kaya? Berikut ini saya coba daftarkan secara kreatif hal-hal yang paling umum dijadikan tujuan keuangan, meski usul saya jangan membatasi pikiran hanya dengan daftar di bawah ini:

• Pernikahan
• memiliki rumah
• memiliki kendaraan
• tempat liburan keluarga
• sekolah anak-anak sampai perguruan tinggi
• ibadah haji, ziarah ke tanah suci
• kalau ada yang mendadak sakit
• hidup tanpa hutang
• kalau saya di-PHK
• kalau saya pensiun
• donasi, sumbangan, zakat, sedekah
• warisan kalau meninggal tiba-tiba
• punya bisnis sendiri
• dana cadangan/darurat
• hidup tanpa bekerja lagi
• barang-barang idaman sejak kecil
• tempat-tempat wisata yang ingin di kunjungi
• hobi yang ingin dilakukan
• sejumlah dana likuid
• sejumlah investasi di bidang tertentu
• angan-angan lainnya (proteksi/asuransi, investasi, sumber penghasilan, dsb).

Dari daftar tersebut di atas, hal-hal apa saja yang membuat imajinasi kita berkembang ketika memikirkannya? Hal-hal apa sajakah dari daftar di atas yang paling kita cemaskan, kita takutkan, yang selama ini berusaha kita lupakan? Dan, hal-hal apa saja yang benar-benar kita inginkan dengan gegap gempita, yang memikirkannya saja sudah membangkitkan motivasi untuk berusaha mencapainya? Masing-masing orang boleh jadi tertarik untuk memikirkan hal yang berbeda-beda, mengutamakan hal yang berbeda-beda. Dan, semua itu sah-sah saja.

Perlu kiranya ditegaskan di sini bahwa ketika kita sedang belajar mengembangkan imajinasi awal, jangan terlalu memikirkan soal caranya bagaimana. Jangan juga terjebak oleh keinginan membuat perencanaan sedetail mungkin secepatnya. Pikirkan saja dulu tujuan-tujuan itu. Pikirkan sesering mungkin. Kalau ada ide tentang cara mencapainya, catat dan simpan. Tapi yang paling penting adalah sering memikirkannya, menjaganya dalam pikiran, menyiramnya dengan emosi. Doakan setiap hari. Bayangkan bagaimana rasanya kalau tujuan tersebut tercapai satu demi satu, apa yang dikatakan orang-orang yang kita cintai, dan bagaimana kita melihat diri kita sendiri kala itu?

Tujuan dari proses mengembangkan imajinasi awal ini ada dua. Pertama, melatih kita untuk terbiasa memiliki tujuan-tujuan hidup yang rasional. Kedua, membalut tujuan-tujuan yang rasional itu dengan emosi kita, sehingga tujuan itu bisa menjadi salah satu sumber motivasi yang kuat ketika kita sedang memperjuangkannya. Sebab bagaimana pun kita adalah mahluk rasional sekaligus emosional, bukan?[aha]

* Andrias Harefa adalah seorang speaker, trainer, motivator, dan penulis 30 buku laris. Pendiri Pembelajar.com ini dapat dihubungi di: aharefa@cbn.net.id.

***

~ edit by DeJaya Collection ~

IMAJINASI YANG EMOSIONAL

Penulis: Andrias Harefa

”Kemampuan manusia untuk bertahan dalam penderitaan sangatlah mengagumkan. Namun, manusia tidak bersedia menderita tanpa alasan yang jelas dan kuat.
~ Pandir Karya

”Jika orang selalu kehabisan uang, merasa uangnya selalu tidak mencukupi, menganggap penghasilannya terlalu kecil, pertanda apakah itu gerangan?” tanya saya kepada sejumlah kawan.
”Tanda penghasilannya kecil ,” kata Iin.
”Tanda dia orang miskin,” jawab Toni.
”Mungkin dia orang yang boros,” timpal Herlina.
”Atau gaya hidupnya yang sangat konsumtif,” ujar Didi.
”Bisa jadi karena ia punya penyakit yang perlu biaya besar,” jelas Diah.
”Wah orang itu mirip saya,” sela Rudy.
”Mungkin orangnya sering kecopetan tuh,” canda Yuyun.
”Saya kira orang yang suka ngutang begitu, gali lobang tutup lobang,” ujar Lilik.
”Kurang disiplin dalam mensyukuri nikmat Tuhan,” papar Dewi.
”Itu pertanda dia tidak berbakat untuk jadi kaya,” respons Indra.

*** Sebuah nasihat bijak diberikan oleh Paul Hanna dalam The Money Motivator berbunyi sebagai berikut, ”Jika Anda selalu kehabisan uang, bukan berarti Anda tidak memiliki cukup uang. Melainkan, Anda tidak memiliki cita-cita yang cukup besar untuk membuat Anda menyisihkan uang. Sebab, jika Anda memiliki keinginan yang besar untuk dikejar, Anda tidak akan banyak membuang uang hasil kerja keras Anda hanya untuk godaan kecil saja.”

Nasihat tersebut mengingatkan saya pada seorang kawan yang bekerja sebagai pegawai negeri di lingkungan Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta pada pertengahan tahun 1980-an. Penghasilannya kala itu sekitar Rp 75.000 per bulan. Selagi belum menikah, penghasilan itu selalu habis dan bahkan ia sering kali harus berhutang kiri kanan untuk menghidupi dirinya. Lalu ia menikah. Ketika melihat istrinya mulai hamil, terjadi perubahan dalam pola konsumsi kawan saya ini. Penghasilannya relatif masih tetap. Namun ia kemudian masih bisa menabung sekitar Rp 7.000 per bulan. Ia melunasi hutangnya satu demi satu dan benar-benar mampu hidup dari penghasilannya yang tak banyak berubah itu. Ia menemukan sebuah ”keinginan yang besar” untuk dikejar, karena cemas tak punya uang saat anaknya lahir nanti. Ia tidak ingin menjadi kepala keluarga yang dianggap tidak bertanggung jawab karena tak mampu menghidupi istri dan anaknya. Dalam dirinya ada semacam nilai yang menempatkan lelaki yang tidak bisa membiayai kehidupan keluarga sebagai manusia hina. Dan ia tidak mau dianggap hina. Ia terinspirasi oleh kecemasannya, sehingga muncul motivasi untuk berhemat dan mendisiplin diri dalam soal menggunakan uang. Ia telah mengalami apa yang saya sebut lompatan imajinasi, sehingga perilakunya berubah dalam soal keuangan. Ia mampu membayangkan dirinya menjadi lelaki yang terhormat, bukan lelaki hina. Ia telah menemukan tujuan emosionalnya.

Seorang kawan lagi menceritakan pengalaman yang berbeda tapi sama. Ia bekerja sebagai pemilik usaha konsultan dengan empat orang pegawai di akhir tahun 1990-an. Kala itu penghasilannya sekitar Rp 30 juta per bulan. Dengan seorang istri dan tiga orang anak yang berangkat remaja, uang hasil kerjanya itu sering kali habis tak berbekas. Ia nyaris tak menambah jumlah tabungan, sehingga portofolio investasinya tak berubah selama 2-3 tahun terakhir. Sampai kemudian ia menetapkan keinginannya untuk mengganti mobil Great Corolla yang sudah digunakanya lima tahun terakhir dengan Mercedez Benz model terbaru. Keinginan ini memicu semangat kerjanya, sehingga ia lebih rajin menghubungi klien dan lebih banyak menjual jasa konsultansinya. Ketika mobil mewah idaman itu kemudian dibeli dengan cicilan yang cukup tinggi—yang harus dibayar tiap bulan—maka segera terlihat bagaimana gairah kerja dan produktivitasnya meningkat tajam. Dalam satu tahun omzet usahanya naik sekitar 250 persen. Dan tentu saja penghasilan pribadinya pun bertambah secara luar biasa, sehingga ia bisa melunasi cicilan mobil mewah tersebut tiga tahun berikutnya. Semua itu terjadi karena ia melakukan lompatan imajinasi dan membalut imajinasinya dengan emosi sehingga ia menginginkan apa yang tadinya sekadar ia pikirkan. Ia bergerak, bangun dari zona kenyamanannya dan menantang diri untuk melangkah maju.

Kedua contoh sederhana di atas ingin menegaskan bahwa untuk menjadi kaya, kita perlu melakukan lompatan imajinasi, mampu membayangkan suatu kehidupan yang lebih baik dari keadaan kita saat ini. Lalu, agar lompatan imajinasi itu tidak sekadar jadi angan-angan, maka kita perlu sering memikirkan keadaan yang kita inginkan tersebut. Kita perlu ”melihat”, ”mendengar”, dan ”merasakan” keadaan yang kita inginkan itu, sampai tumbuh emosi yang menyertai pikiran tersebut. Dengan begitu imajinasi kita telah dibalut oleh emosi. Artinya, meskipun pada kenyataannya kita belum sampai pada keadaan yang kita cita-citakan, namun secara emosional keadaan itu sering kali sudah hadir dalam benak kita. Inilah yang saya maksudkan sebagai imajinasi yang emosional. Ia bukan angan-angan atau khayalan kosong. Ia adalah bara api yang menyala dalam dada.

Kedua kawan saya tadi berhasil membangun imajinasi emosionalnya. Yang pertama dipicu oleh kecemasan akan dianggap menjadi lelaki tak bertanggung jawab bila tak punya uang untuk membiayai kelahiran anak dan memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Ia digerakkan oleh ketakutan dan kecemasannya ke arah yang positif. Yang kedua dipicu oleh kemampuan membayangkan dirinya menggunakan mobil mewah idaman hati, dan mungkin juga perasaan menjadi orang hebat, orang sukses, atau perasaan lainnya yang menyertai penampilannya. Ia digerakkan oleh tujuan dan keinginannya ke arah yang positif. Yang pertama menjadi lebih hemat dalam mengelola jumlah yang yang sama. Yang kedua menjadi lebih produktif, sehingga memperoleh lebih banyak uang.

Dalam menyimak situasi hidup di Jakarta dan sekitarnya, saya menyaksikan bahwa banyak orang yang berkata ingin menjadi kaya, tetapi sesungguhnya tidak benar-benar menginginkan hal itu. Terbukti mereka tidak belajar melakukan lompatan imajinasi untuk mulai berpikir seperti orang kaya. Mereka tidak membangun imajinasi yang emosional, menetapkan tujuan yang menggugah perasaan secara mendalam dan otentik. Mereka tidak bersedia mendisiplin diri dalam menabung dan berinvestasi secara bertahap, waktu demi waktu. Andai pun sempat menyisihkan sejumlah uang untuk ditabung, mereka kemudian mudah tergoda oleh paket-paket diskon dan pameran-pameran barang konsumtif di kuil-kuil konsumerisme yang bernama mal atau pusat pembelanjaan.

Imajinasi yang emosional, tujuan yang menggugah perasaan, cita-cita yang jujur dari hati, adakah kita memilikinya? Kalau hal itu ada, berapa kecil pun penghasilan kita, pasti ada cara untuk menyisihkan sebagian untuk ditabung, untuk diinvestasikan, untuk disisihkan agar terus bertambah. Dengan demikian akan tiba saatnya apa yang kita inginkan bisa terwujud, tujuan bisa tercapai, cita-cita menjadi realita. Percayalah![aha]

* Andrias Harefa adalah seorang speaker, trainer, motivator, dan penulis 30 buku laris. Pendiri Pembelajar.com ini dapat dihubungi di: aharefa@cbn.net.id.

***

~ edit by DeJaya Collection ~

MEMBANGUN KARAKTER

Disiplin diri merupakan hal penting dalam setiap upaya membangun dan membentuk karakter seseorang. Sebab karakter mengandung pengertian (1) suatu kualitas positif yang dimiliki seseorang, sehingga membuatnya menarik dan atraktif; (2) reputasi seseorang; dan (3) seseorang yang unusual atau memiliki kepribadian yang eksentrik.

Akar kata karakter dapat dilacak dari kata Latin kharakter, kharassein, dan kharax, yang maknanya “tools for marking”, “to engrave”, dan “pointed stake”. Kata ini mulai banyak digunakan (kembali) dalam bahasa Perancis caractere pada abad ke-14 dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi character, sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia karakter. Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain.

Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga ‘berbentuk’ unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alfabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, demikianlah orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya (termasuk dengan yang tidak/belum berkarakter atau ‘berkarakter’ tercela).

Tentang proses pembentukkan karakter ini dapat disebutkan sebuah nama besar: Helen Keller (1880-1968). Wanita luar biasa ini––ia menjadi buta dan tuli di usia 19 bulan, namun berkat bantuan keluarganya dan bimbingan Annie Sullivan (yang juga buta dan setelah melewati serangkaian operasi akhirnya dapat melihat secara terbatas) kemudian menjadi manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904–– pernah berkata: “Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved.” Kalimat itu boleh jadi merangkum sejarah hidupnya yang sangat inspirasional. Lewat perjuangan panjang dan ketekunan yang sulit dicari tandingannya, ia kemudian menjadi salah seorang pahlawan besar dalam sejarah Amerika yang mendapatkan berbagai penghargaan di tingkat nasional dan internasional atas prestasi dan pengabdiannya (lihat homepage www.hki.org). Helen Keller adalah model manusia berkarakter (terpuji). Dan sejarah hidupnya mendemonstrasikan bagaimana proses membangun karakter itu memerlukan disiplin tinggi karena tidak pernah mudah dan seketika atau instant. Diperlukan refleksi mendalam untuk membuat rentetan moral choice (keputusan moral) dan ditindaklanjuti dengan aksi nyata sehingga menjadi praksis, refleksi, dan praktik. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang.

Selanjutnya, tentang nilai atau makna pentingnya karakter bagi kehidupan manusia dewasa ini dapat dikutip pernyataan seorang Hakim Agung di Amerika, Antonin Scalia, yang pernah mengatakan: “Bear in mind that brains and learning, like muscle and physical skills, are articles of commerce. They are bought and sold. You can hire them by the year or by the hour. The only thing in the world NOT FOR SALE IS CHARACTER. And if that does not govern and direct your brains and learning, they will do you and the world more harm than good.” Scalia menunjukkan dengan tepat bagaimana karakter harus menjadi fondasi bagi kecerdasan dan pengetahuan (brains and learning). Sebab kecerdasan dan pengetahuan (termasuk informasi) itu sendiri memang dapat diperjualbelikan. Dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di era knowledge economy abad ke-21 ini knowledge is power.

Masalahnya, bila orang-orang yang dikenal cerdas dan berpengetahuan tidak menunjukkan karakter (terpuji), maka tak diragukan lagi bahwa dunia akan menjadi lebih dan semakin buruk. Dengan kata lain ungkapan knowledge is power akan menjadi lebih sempurna jika ditambahkan menjadi––meminjam sebuah iklan yang pernah muncul di Harian Kompas–– knowledge is power, but character is more.

Demikianlah makna penting sebuah karakter dan proses pembentukkannya yang tidak pernah mudah melahirkan manusia-manusia yang tidak bisa dibeli. Ke arah yang demikian itulah pendidikan dan pembelajaran ––termasuk pengajaran di institusi formal dan pelatihan di institusi nonformal––seharusnya bermuara, yakni membangun manusia-manusia berkarakter (terpuji), manusia-manusia yang memperjuangkan agar dirinya dan orang-orang yang dapat dipengaruhinya agar menjadi lebih manusiawi, menjadi manusia yang utuh atau memiliki integritas.[aha]

* Andrias Harefa adalah penulis 30 buku laris. Ia dapat dihubungi di: aharefa@cbn.net.id.

***

~ edit by DeJaya Collection ~
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
DeJaya Collection |Produksi : Bandung | Lokasi Stok: Cikarang-Bekasi | Phone: 021 - 995 75 669 | Email: dejayacollection@yahoo.com |